Minggu, 30 Desember 2012

Biraswandana


            Sekelebat guratan jingga terlihat jelas mencolok mata, namun ketakutan pada malam itu tak akan mudah hilang dari ingatan. Mereka seenaknya saja menyombongkan diri dengan kemampuan yang sungguh tak bisa dibuktikan. Bukan lagi tentang kota tua yang ditinggalkan penghuninya namun lebih kepada isyarat makna yang ia membekas disana.
            Markui tahu bahwa mereka hanya menginginkan kepingan harta yang terkubur di perut bumi kampung kami. Tapi mengapa ia dengan sengaja menghancurkan demi seorang yang ia anggap mencintainya. Gelap memang kehidupan orang-orang disana. Bergelimangan harta tanpa makna.
Ah, apa peduliku dengan kehidupan para penjual negara. Hatiku kini sedang kalut tak terkira. Aku hanya ingin diam, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya aku inginkan.
Dua malam sudah aku rasa tak ada aliran air masuk kerongkongan, tak apa. Sungguh aku hanya ingin sendiri terduduk dikamar hitam yang sepi. Memikirkan sesuatu yang sebenarnya sudah tak ada lagi jalan keluarnya.
Ibu sudah berulang-ulang mengetuk pintu dan terdengar terisak dekat jendela. Saking kalutnya hatiku tak mampu meraba kebersihan hati orang yang selama sembilan bulan memeluk ragaku. Kegaduhan-demi kegaduhan terdengar di kamar tamu, ruang makan, ataupun dapur yang persis menempel di dinding ruanganku. Aku sungguh tak lagi peduli. Hatiku telah mati. Telah mati tergores ranting-ranting patah di sudut kota. Terbawa angin yang menyesakkan dada.
Dua kali duapuluh empat jam ini pula aku tak berniat untuk melanjutkan hidup. Namun mati bukan tidak aku usahakan. Segala cara, namun hanya meninggalkan bekas luka di pergelangan dan leher yang lecet saja.
Aku ingin izroil segera datang menyapa. Mencaput nyawa dengan paksa, kesakitan luar biasapun tak mengapa. Aku siap menerima.
Kejadian itu, kejadian saat fajar belum menampakkan diri. Ketika suara sandalku bergesekan dengan aspal kota tua setelah bernegosiasi alot dengan para tetua pongah yang serakah. Aku merasa gagal menyelamatkan butiran emas hitam kampungnya. Aku tak bermaknaapapun. Tak ada guna terus menghirup nafas. Biarkan. Biarkan saja...
Tawa mereka yang ada di dalam struktur birokrasi, entah mengapa terasa bagai silet yang mengiris-ngiris jantungku. Aku tak tahu Markiu sekarang ada dimana. Jika di neraka sana aku bertemu dengannya akan kupastikan ia mencium kakiku. Karena gara-gara dia. Karenanya.
 ***
            Sesaat sebelum pergi ke kota tua yang tak lagi dihuni manusia-manusia bernurani, aku sengaja mampir ke rumah pamanku di Nesara, ketika itu kulihat ia memalingkan muka ketika hendak kuucapkan doa dan salam kasih dari ibu yang sudah lama tak mengunjunginya.
            “Saya harap paman tak berada disana.” Kataku dengan suara parau.
            “Kau hanya anak bawang Durpani.” Katanya mungkret.
Ya akan selalu begitu aku rasa. Ketika rimbunna daun taman kota melaju terus dengan deru mesin-mesin tua yang akan berganti dengan alat-alat lain yang lebih besar, canggih, dan merusak buatan mereka kelak.
            Aku tak henti berpikir bagaimana jika paman menggahadangku bertemu dengannya nanti, bagaimana jika semua orang tahu bahwa aku masih ada ikatan darah dengannya. Berseteru melalui luka yang berbeda jalannya dengan orang yang sejak kecil mencintai kita. Kalian tidak akan mampu merasakannya.
            Tekadku sudah bulat akan aku jajal jalanan berliku itu, walaupun dengan banyak resiko. Hingga ku tahu jalanku tak pernah diketahui olehnya.
            Keheningan menyeruak di depan mata ketika memasuki kota. Suasana masing remang tatkala itu, karena perjalanna panjang yang hana aku tempuh dengan berjalan kaki sehingga baru sampai disini ketika metari membuka suasana. Aspal tua yang gelap seperti melarangku untuk berjibaku di kota itu. Namun aku jelas tak mungkin melakukannnya. Aku ingin segera sampai ke dalam gedung paling tua di kota tua, bertemu dengan orang-orang tua dengan otak yang sangat tua.
Tak berapa lama, akhirnya kulihat semburat cahaya dari lantai tiga yang berarti ruangan itu sudah ada penghuninya. Kunaiki tangga yang rapuh dengan hati yang apabila boleh jujur sangat gontai tapi jangan berhenti disini, harus melangkah lagi dan lagi. Dipersimpangan lorong kedua aku temukan Markiu, ia tersenyum sinis ke arahku, tapi apa peduliku dengan senyumannya. Bukankah aku sudah tau dalamnya hati lelaki ringkih itu.
Selain dengannya aku pun berpapasan dengan Gika, Renia, Kalima, Seno, dan Poda. Mereka memberi hormat, menyapa, tapi aku biarkan saja. Hatiku sungguh sedang tak bersahabat. Otakku pun tak akan mengirimkan signal hanya untuk menganggukan tubuh sis-sia.
Aku masuk kedalam ruangan tanpa mengetuk pintu atau mengatakan bahwa kau telah tiba. Aku seoorang gadis yang akan menang pikirku. Sialnya mereka malah menyambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh bak sedang melihat pemeran utama di panggung opera. Baik akan kutunjukkan siapa diriku.
Sendiri melawan puluhan orang dengan keserakahan dipuncak ubun-ubun memang tak mudah, tapi kekuatan hatiku tak mudah dilemahkan begitu saja. Aku siap walau harus terlempar ke Antariksa asalkan aku dapat mempertahankannya.
Ocehan-demi ocehan meracau begitu saja. Begitupun mereka, mukaku merah padam, mereka tertawa terbahak-bahak. Oke, nampaknya mereka merasa diatas angin. Aku masih punya kekuatan Rodio belum datang, aku kan melihat sejauh mana kebeeraniannya menghantarkanku ke kotanya.
Nogosiasi yang jelas tak sebanding sempat terhenti ketika Rodio datang. Aku tersenyum memancarkan kemenangan. Setelah menguatkan hati, Rodio menembakan ucapan-ucapan yang jelas membuat tawa mereka berubah menjadi getaran udara yang hampa. Aku sudah mengiri Rodio akan menyelamatkanku, membantuku walaupun aku tahu ini akan menyakitinya sendiri, karena ayahnya bagian dari mereka begitu pula dengan pamanku yang tak henti-hentinya mengujami kami dengan kata-kata neraka.
Berusaha saling menguatkan walaupun akhirnya aku harus lagi menahan perih ketika tiba-tiba puluhan peluru berhahaya dimuntahkan oleh salah seorang dari mereka. Aku yang mejadi sasarannya tapi rodio membentenginya.
“Pergi sekarang, temui Biraswandana! KATAKAN KITA AKAN MEMELUK BUMINYA.”
Katanya sebelum tubuhnya ambruk tak kuat menahan hujaman peluru.
Aku lari secepatnya, dengan hati lemah dan sandal jepit yang hampir terlepas. Aku tak tak ingin perjuangan ini berakhir. Tapi gelapnya malam ini tak mampu membuatku bangkit dan menantang keangkuhan mereka. Aku pergi, melewati jalanna tua tanpa penghuni.
Diseretnya langkah kaki yang sunyi, dengan bayangan wajah Rodio penuh darah. Mengapa ada manusia yang tega berbuat seperti itu pada pejuang sepertinya. Membawa luka dan harapan Rodio aku tak langsung menemui Ibu. Aku ingin ke kampungnya melihat keadaannya. Aku tak bisa mempertahankannya. Namun kakiku tersangkut ranting di perkebunan karet yang lebat. Aku tak sadar tenyata darah Rodio tadi menempel di betis kiriku. Ketika kulihat mata kaki kananku luka, mungkin ini yang membuatku tak bisa berjalan lagi. Mata kakiku berdarah. Aku berteriak sekencang-kencangnya.
 ***
Maafkan aku, kecintaanmu pada Raja Nande harus musnah, gara-gara aku yang sungguh tak bermakna. Aku tulis ini untukmu. Biraswandana....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar