Sekelebat guratan jingga terlihat
jelas mencolok mata, namun ketakutan pada malam itu tak akan mudah hilang dari
ingatan. Mereka seenaknya saja menyombongkan diri dengan kemampuan yang sungguh
tak bisa dibuktikan. Bukan lagi tentang kota tua yang ditinggalkan penghuninya
namun lebih kepada isyarat makna yang ia membekas disana.
Markui tahu bahwa mereka hanya
menginginkan kepingan harta yang terkubur di perut bumi kampung kami. Tapi
mengapa ia dengan sengaja menghancurkan demi seorang yang ia anggap mencintainya.
Gelap memang kehidupan orang-orang disana. Bergelimangan harta tanpa makna.
Ah,
apa peduliku dengan kehidupan para penjual negara. Hatiku kini sedang kalut tak
terkira. Aku hanya ingin diam, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya aku
inginkan.
Dua
malam sudah aku rasa tak ada aliran air masuk kerongkongan, tak apa. Sungguh
aku hanya ingin sendiri terduduk dikamar hitam yang sepi. Memikirkan sesuatu
yang sebenarnya sudah tak ada lagi jalan keluarnya.
Ibu
sudah berulang-ulang mengetuk pintu dan terdengar terisak dekat jendela. Saking
kalutnya hatiku tak mampu meraba kebersihan hati orang yang selama sembilan
bulan memeluk ragaku. Kegaduhan-demi kegaduhan terdengar di kamar tamu, ruang
makan, ataupun dapur yang persis menempel di dinding ruanganku. Aku sungguh tak
lagi peduli. Hatiku telah mati. Telah mati tergores ranting-ranting patah di
sudut kota. Terbawa angin yang menyesakkan dada.
Dua
kali duapuluh empat jam ini pula aku tak berniat untuk melanjutkan hidup. Namun
mati bukan tidak aku usahakan. Segala cara, namun hanya meninggalkan bekas luka
di pergelangan dan leher yang lecet saja.
Aku
ingin izroil segera datang menyapa. Mencaput nyawa dengan paksa, kesakitan luar
biasapun tak mengapa. Aku siap menerima.
Kejadian
itu, kejadian saat fajar belum menampakkan diri. Ketika suara sandalku
bergesekan dengan aspal kota tua setelah bernegosiasi alot dengan para tetua
pongah yang serakah. Aku merasa gagal menyelamatkan butiran emas hitam
kampungnya. Aku tak bermaknaapapun. Tak ada guna terus menghirup nafas.
Biarkan. Biarkan saja...
Tawa
mereka yang ada di dalam struktur birokrasi, entah mengapa terasa bagai silet
yang mengiris-ngiris jantungku. Aku tak tahu Markiu sekarang ada dimana. Jika
di neraka sana aku bertemu dengannya akan kupastikan ia mencium kakiku. Karena
gara-gara dia. Karenanya.
***
Sesaat sebelum pergi ke kota tua
yang tak lagi dihuni manusia-manusia bernurani, aku sengaja mampir ke rumah
pamanku di Nesara, ketika itu kulihat ia memalingkan muka ketika hendak
kuucapkan doa dan salam kasih dari ibu yang sudah lama tak mengunjunginya.
“Saya harap paman tak berada
disana.” Kataku dengan suara parau.
“Kau hanya anak bawang Durpani.”
Katanya mungkret.
Ya
akan selalu begitu aku rasa. Ketika rimbunna daun taman kota melaju terus
dengan deru mesin-mesin tua yang akan berganti dengan alat-alat lain yang lebih
besar, canggih, dan merusak buatan mereka kelak.
Aku tak henti berpikir bagaimana
jika paman menggahadangku bertemu dengannya nanti, bagaimana jika semua orang
tahu bahwa aku masih ada ikatan darah dengannya. Berseteru melalui luka yang
berbeda jalannya dengan orang yang sejak kecil mencintai kita. Kalian tidak
akan mampu merasakannya.
Tekadku sudah bulat akan aku jajal
jalanan berliku itu, walaupun dengan banyak resiko. Hingga ku tahu jalanku tak
pernah diketahui olehnya.
Keheningan menyeruak di depan mata
ketika memasuki kota. Suasana masing remang tatkala itu, karena perjalanna
panjang yang hana aku tempuh dengan berjalan kaki sehingga baru sampai disini
ketika metari membuka suasana. Aspal tua yang gelap seperti melarangku untuk berjibaku
di kota itu. Namun aku jelas tak mungkin melakukannnya. Aku ingin segera sampai
ke dalam gedung paling tua di kota tua, bertemu dengan orang-orang tua dengan
otak yang sangat tua.
Tak
berapa lama, akhirnya kulihat semburat cahaya dari lantai tiga yang berarti
ruangan itu sudah ada penghuninya. Kunaiki tangga yang rapuh dengan hati yang
apabila boleh jujur sangat gontai tapi jangan berhenti disini, harus melangkah
lagi dan lagi. Dipersimpangan lorong kedua aku temukan Markiu, ia tersenyum
sinis ke arahku, tapi apa peduliku dengan senyumannya. Bukankah aku sudah tau
dalamnya hati lelaki ringkih itu.
Selain
dengannya aku pun berpapasan dengan Gika, Renia, Kalima, Seno, dan Poda. Mereka
memberi hormat, menyapa, tapi aku biarkan saja. Hatiku sungguh sedang tak
bersahabat. Otakku pun tak akan mengirimkan signal hanya untuk menganggukan
tubuh sis-sia.
Aku
masuk kedalam ruangan tanpa mengetuk pintu atau mengatakan bahwa kau telah
tiba. Aku seoorang gadis yang akan menang pikirku. Sialnya mereka malah
menyambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh bak sedang melihat pemeran utama
di panggung opera. Baik akan kutunjukkan siapa diriku.
Sendiri
melawan puluhan orang dengan keserakahan dipuncak ubun-ubun memang tak mudah,
tapi kekuatan hatiku tak mudah dilemahkan begitu saja. Aku siap walau harus
terlempar ke Antariksa asalkan aku dapat mempertahankannya.
Ocehan-demi
ocehan meracau begitu saja. Begitupun mereka, mukaku merah padam, mereka
tertawa terbahak-bahak. Oke, nampaknya mereka merasa diatas angin. Aku masih
punya kekuatan Rodio belum datang, aku kan melihat sejauh mana kebeeraniannya
menghantarkanku ke kotanya.
Nogosiasi
yang jelas tak sebanding sempat terhenti ketika Rodio datang. Aku tersenyum
memancarkan kemenangan. Setelah menguatkan hati, Rodio menembakan ucapan-ucapan
yang jelas membuat tawa mereka berubah menjadi getaran udara yang hampa. Aku
sudah mengiri Rodio akan menyelamatkanku, membantuku walaupun aku tahu ini akan
menyakitinya sendiri, karena ayahnya bagian dari mereka begitu pula dengan pamanku
yang tak henti-hentinya mengujami kami dengan kata-kata neraka.
Berusaha
saling menguatkan walaupun akhirnya aku harus lagi menahan perih ketika
tiba-tiba puluhan peluru berhahaya dimuntahkan oleh salah seorang dari mereka.
Aku yang mejadi sasarannya tapi rodio membentenginya.
“Pergi
sekarang, temui Biraswandana! KATAKAN KITA AKAN MEMELUK BUMINYA.”
Katanya
sebelum tubuhnya ambruk tak kuat menahan hujaman peluru.
Aku
lari secepatnya, dengan hati lemah dan sandal jepit yang hampir terlepas. Aku
tak tak ingin perjuangan ini berakhir. Tapi gelapnya malam ini tak mampu
membuatku bangkit dan menantang keangkuhan mereka. Aku pergi, melewati jalanna
tua tanpa penghuni.
Diseretnya
langkah kaki yang sunyi, dengan bayangan wajah Rodio penuh darah. Mengapa ada
manusia yang tega berbuat seperti itu pada pejuang sepertinya. Membawa luka dan
harapan Rodio aku tak langsung menemui Ibu. Aku ingin ke kampungnya melihat
keadaannya. Aku tak bisa mempertahankannya. Namun kakiku tersangkut ranting di
perkebunan karet yang lebat. Aku tak sadar tenyata darah Rodio tadi menempel di
betis kiriku. Ketika kulihat mata kaki kananku luka, mungkin ini yang membuatku
tak bisa berjalan lagi. Mata kakiku berdarah. Aku berteriak sekencang-kencangnya.
***
Maafkan
aku, kecintaanmu pada Raja Nande harus musnah, gara-gara aku yang sungguh tak
bermakna. Aku tulis ini untukmu. Biraswandana....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar