Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya
kecerdasan dan kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara pada
terbentuknya karakter kepribadian, dan ranah psikhomotorik akan bermuara pada
keterampilan vokasional dan perilaku.
Dalam pembentukan karakter, Ki Hajar
Dewantara (1967) mengungkapkan bahwa pembentukan karakter adalah upaya
untuk membantu perkembangan jiwa anak baik lahir maupun batin, dari sifat
kodratinya menuju ke arah peradaban masyarakat dan bangsa secara umum.
Pendidikan pembentukan karakter merupakan upaya untuk menumbuhkan dan
mengembangkan nilai-nilai yang baik atau positif pada diri anak sesuai dengan
etika moral yang berlaku. Anak tidak hanya tahu apa yang seharusnya dilakukan
tetapi juga memahami mengapa hal
tersebut dilakukan, sehingga anak akan berperilaku seperti yang diharapkan.
Pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut merupakan
rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap
satuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan nasional inilah yang menjadi
landasan pengembangan pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan karakter bersifat terus
menerus dan berkelanjutan (continuous)
dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi agar terinternalisasi
dengan baik dalam diri anak, dengan tahapan sebagai berikut.
a. Pada usia
5-8 tahun ditanamkan nilai-nilai yang bersifat global dan spontan.
b. Pada usia
9-12 tahun pendidikan karakter berupa nilai-nilai hakikat kebenaran berupa baik
atau buruk.
c. Pada usia
14-16 tahun anak mulai dilatihkan berbagai perilaku berupa kebaikan betapapun
beratnya.
d. Pada usia
17-20 tahun anak dibiasakan tidak hanya berbuat baik tetapi juga menyadari
maksud dan tujuan suatu sikap.
Keberhasilan pendidikan karakter
tidak hanya ditentukan oleh besarnya peranan pendidik dalam memberikan
pengajaran atau bimbingan tetapi juga ditentukan oleh lingkungan sosial dalam
memberikan situasi yang kondusif dalam pengembangan karakter. Nilai-nilai
tersebut tidak hanya cukup disampaikan
dan konseptual, tetapi dibutuhkan latihan yang terus menerus dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai Yang Perlu Ditanamkan, Ditumbuhkan Dan
Dikembangkan
Nilai-nilai yang dikembangkan
tersebut tidak lepas dari budaya bangsa. Budaya bangsa merupakan sistem nilai
yang dihayati, diartikan sebagai keseluruhan sistem berfikir tentang tata nilai, moral, norma dan keyakinan manusia yang
dihasilkan masyarakat. Dengan membiasakan
berbuat sesuatu sesuai dengan tata nilai atau norma moral yang ada dan telah
disepakati, maka nilai-nilai tersebut lama kelamaan akan menjadi bagian dari
dirinya. Dalam pendidikan pembentukan karakter bangsa, nilai-nilai yang
harus ditumbuhkembangkan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Nilai keagaman dan religiusitas
adalah nilai yang berakar pada agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini
tidak diartikan sebagai pelajaran atau pendidikan agama. Nilai-nilai religius
adalah nilai yang paling fundamental dalam penghayatan kehidupan manusia di
hadapan sang Pencipta.
b.
Nilai dasar adalah nilai yang
terkandung dalam dasar dan falsafah negara: Pancasila dan UUD 1945. Sikap,
perilaku, dan tindakan peserta didik dijiwai oleh nilai-nilai yang terdapat
pada sila-sila dalam Pancasila dan UUD
1945.
c.
Nilai kemasyarakatan, berupa nilai
moral, etika, dan etiket yang berlaku dalam masyarakat setempat. Bila
nilai-nilai masyarakat ini telah terinternalisasi dalam diri anak, ia akan
memiliki adab, budaya, dan susila yang baik sebagai anak yang berkepribadian
luhur.
d.
Nilai kenegaraan adalah nilai
yang menyangkut kecintaan terhadap tanah air dan bangsanya. Nilai-nilai ini
dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan yang mampu menggugah rasa kebangsaan dan
nasionalisme pada diri anak, sehingga tumbuh kebanggaan, mencintai, dan
menghargai tanah air dan budaya bangsanya, tanpa meremehkan budaya bangsa lain.
Esensi
Pendidikan Karakter Bangsa
Bahwa karakter diyakini sebagai
keadaan psikho-fisis yang dapat ditumbuhkembangkan dengan upaya komprehensif.
Sebagai gejala psikhologi, karakter setiap individu akan berubah sesuai dengan
proses perjalanan kehidupan yang amat dipengaruhi oleh kecenderungan
lingkungan. Perubahan menuju ke arah karakter yang diinginkan diibaratkan
sebagai beras yang ditumbuk. Bahwa sesungguhnya putihnya beras bukan karena
tertumbuk oleh “alu” (antan) atau penumbuknya, melainkan karena bergesekan
dengan sesamanya. Sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, peserta
didik memerlukan situasi pendidikan yang mendorong dirinya untuk mampu
berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan upaya sadar dalam membangun kondisi lingkungan yang memungkinkan
terjadi interaksi peserta didik secara komprehensif.
Untuk mencapai arah yang diinginkan
perlu tahap-tahap yang harus dilalui sesuai dengan perkembangan dan kematangan
anak secara individu dan sosial. Pendidikan menengah atas (SMA) merupakan tahap
yang cukup strategis dalam melakukan upaya pendidikan karakter bangsa,
mengingat mereka sedang memasuki usia remaja sebagai fase pencarian bentuk dan
jati diri. Jika posisi strategis ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para
pemangku kepentingan pendidikan, tidak ayal jika tujuan pendidikan karakter
bangsa akan dapat dicapai secara optimal, tanpa mengesampingkan pendidikan pada
level di bawah dan di atasnya. Bahkan
keberhasilan pendidikan karakter bangsa hanya dapat dicapai melalui
kesinambungan tripusat pendidikan yang komprehensif yakni, pendidikan informal
dalam keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan non formal dalam
masyarakat.
a.
Implementasi Stratategi Rekayasa
Mental (Mental Engineering)
Implementasi strategi rekayasa
mental atau internalisasi nilai-nilai
dilakukan melalui proses integrasi dalam
mata pelajaran, integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, integrasi dalam
budaya sekolah.
1) Integrasi Dalam Mata Pelajaran
Kegiatan pendidikan di SMA yang
menggunakan persentase waktu, perhatian
dan energi terbanyak adalah proses pembelajaran
berbagai mata pelajaran, khususnya mata pelajaran IPS. Oleh karena
itu proses pembelajaran adalah wahana yang tepat untuk melakukan rekayasa
mental agar terjadi internalisasi nilai-nilai budaya bangsa pada diri para
siswa. Pada setiap mata pelajaran guru perlu memiliki misi untuk menyisipkan
atau menyampaikan pesan-pesan moral yang berdasar pada nilai-nilai budaya dasar
bangsa.
Nilai-nilai tersebut bisa disampaikan secara intelektualistik pada saat mengawali atau mengakhiri proses
pembelajaran yang salah satu kegiatannya adalah guru memberikan wawasan,
motivasi dan penguatan pada siswa. Dapat juga disisipkan di sela-sela
penyampaikan materi ajar. Misalnya dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ketika menjelaskan tentang penyimpangan sosialdisertai dengan akibat dan penanggulangan disertai
dengan ajakan untuk menghindari perilaku menyimpang. Dengan mempelajari
dan memahami perilaku menyimpang siswa dapat sebsa mungkin untuk
menghindari perilaku tersebut. Implementasi ini akan memberikan
hasil optimal apabila integrasi pada proses pembelajaran telah dirancang dalam
perangkat pembelajaran secara eksplisit dan selanjutnya dilaksanakan secara
konsisten dan berkelanjutan.
2)
Integrasi Dalam Kegiatan Ekstrakurikler
Kegiatan
ekstrakurikuler pada umumnya merupakan kegiatan pilihan yang disukai oleh
siswa. Pada kegiatan ini sangat tepat jika diintegrasikan nilai-nilai budaya dasar bangsa. Nilai-nilai rasa cinta
tanah air, kecintaan dan apresiasi terhadap budaya daerah dan nasional,
kebersamaan dan kerja sama, kemasyarakatan, sportivitas, kejujuran, sikap
ilmiah, kepemimpinan dan kewirausahaan dapat ditanamkan secara optimal melalui
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya nilai-nilai cinta tanah air, kedisiplinan, dan kesiap-siagaan dapat
ditanamkan pada bidang-bidang Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (Pleton
Upacara, PKS, Pramuka, Pecinta Alam). Nilai-nilai
sportivitas, kerja sama, dan semangat pantang menyerah dapat ditanamkan melalui
ekstra kurikuler bidang olah raga. Bidang seni, untuk menumbuhkan kecintaan dan
apresiasi pada hasil-hasil karya budaya bangsa,
bidang ilmiah untuk menanamkan sikap ilmiah serta bidang kewirausahaan untuk menanamkan jiwa enterpreneurship.
3) Integrasi Dalam Budaya Sekolah
Ketentuan-ketentuan
dan aturan sekolah, tata tertib, tradisi-tradisi sekolah dapat menjadi salah
satu wahana penanaman nilai-nilai budaya bangsa yang akan dikembangkan dalam
pembentukan karakter anak didik. Budaya sekolah yang ditentukan perlu bersumber
dan berimpit dengan nilai-nilai budaya dasar bangsa. Selain berfungsi sebagai
pendorong terbentuknya karakter yang diinginkan budaya sekolah juga dharapkan
menjadi salah satu benteng dalam menanggulangi berkembangnya karakter peserta
didik yang tidak sejalan dengan budaya dasar bangsa. Misalnya dalam tradisi
awal masuk siswa baru berupa masa orientasi siswa, sebaiknya digunakan sebagai
tahap inisiasi penanaman nilai-nlai dasar yang
berlaku di sekolah. Tata tertib sekolah atau peraturan kehidupan siswa
di sekolah perlu memasukkan muatan nilai-nilai
pengembangan karakter budaya bangsa
antara lain rasa cinta tanah air, toleransi antar umat beragama, tata
krama, budaya tertib, bersih dan tepat waktu.
b. Implementasi Strategi Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Implementasi
strategi rekayasa sosial meliputi upaya-upaya penciptaan kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang mendukung aktualisasi nilai-nilai yang telah
terinternalisasi dalam diri peserta didik. Upaya-upaya itu berupa keteladanan atau penciptaan lingkungan teladan, pembiasaan implementasi nilai-nilai
dalam kehidupan nyata sehari-hari, penerapan pemberian penghargaan dan koreksi (reward-punishment), dan sosialisasi dalam organisasi.
1) Keteladanan
Aktualisasi
nilai-nilai yang telah ditanamkan pada peserta didik perlu didukung oleh
lingkungan yang memberikan keteladanan. Pengembangan karakter peserta didik
sangat memerlukan lingkungan yang sesuai antara nilai ideal dan realitas yang
dihadapi. Apa yang dilihat dan didengar lebih berpengaruh pada pengembangan
karakter dari pada apa yang dilarang dan apa yang disuruh kepada peserta didik.
Keteladanan ini sangat diperlukan dalam ketiga wahana pendidikan yaitu di
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah sebagai lingkungan yang harus
diciptakan normatif.
Pengembangan sifat-sifat dan watak yang berkarakter sesuai
nilai-nilai budaya bangsa akan lebih efektif dan efisien apabila bersifat top-down,
dari atas ke bawah. Misalnya pembentukan disiplin pada peserta didik hanya akan
efektif apabila kepala sekolah dan gurunya menjadi teladan dalam disiplin.
Apabila meminta siswa datang tepat waktu maka guru harus datang lebih awal. Apabila
meminta siswa berpakaian rapi maka guru harus berpakaian lebih rapi.
2) Pembiasaan Implementasi Nilai-nilai
Karakter yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa
tidak akan terbentuk dengan tiba-tiba tetapi perlu melalui proses dan
pentahapan yang kontinyu. Oleh karena itu,
perlu upaya pembiasaan perwujudan nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagaimana proses perubahan pada umumnya, proses awal perubahan
selalu memerlukan energi yang lebih besar. Proses pembiasaan pada awalnya
dimulai dengan tahap inisiasi dengan
memberikan faktor pendorong eksternal yang kuat, sehingga terkesan semacam
“pemaksaan” pada tataran tertentu.
Dimulai dengan proses, berlanjut menjadi pembiasaan, yang pada akhirnya
faktor penggerak eksternal bergeser menjadi faktor internal, dari diri sendiri.
Pada tahap ini berarti telah terjadi
kesesuaian antara nilai-nilai yang
dipahami sebagai konsep diri dengan sikap perilaku yang muncul sebagai karakter.
Pembiasaan yang
dilakukan di sekolah diharapkan mendapatkan penguatan dengan pembiasaan di
rumah, kedua-duanya saling menguatkan,
demikian pula di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu jalinan erat
antar pemangku kepentingan pendidikan (stake holders) antara lain sekolah, orang tua siswa dan komite sekolah,
dewan pendidikan, dinas pendidikan, instansi pemerintah, masyarakat luas, dan
pemerhati pendidikan. Proses pembiasaan ini misalnya implementasi tata nilai
hormat kepada orang yang lebih tua harus dilakukan di sekolah antara lain
dengan memberikan salam kepada siapa pun baik
kepala sekolah, guru, karyawan, ataupun tukang sapu. Tata nilai ini juga harus dilakukan dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. Hal ini akan mengembangkan karakter menghargai orang lain, tidak
bersifat arogan tetapi rendah hati sehingga mudah diterima di setiap
lingkungan.
3) Reward And Punishment
Untuk mendorong
agar perilaku peserta didik sesuai dengan tata nilai dan norma yang ditanamkan
perlu dilakukan konfirmasi antara nilai
yang dipahami dan perilaku yang dimunculkan. Apabila peserta didik melakukan
yang sesuai yang baik perlu diberikan penghargaan atau pujian.
Untuk mencegah
terjadinya penyimpangan perilaku terhadap tata nilai dan norma perlu dilakukan
upaya-upaya pencegahan dengan memberikan punishment atau sanksi yang
sepadan dan bersifat pedagogis pada
peserta didik. Secara bertahap punishment
ini awalnya bersifat preventif atau mencegah terjadinya pelanggaran lebih
lanjut dengan memberikan teguran, nasehat, penugasan atau sejenisnya.
Selanjutnya pada tingkat yang lebih tinggi dilakukan represi dalam rangka prevensi agar
pelanggaran tidak menyebar pada peserta didik lain. Pada tahap terakhir, jika
diperlukan ada tindakan shock therapy untuk pelanggaran yang benar-benar
esensial sehingga memberikan efek jera. Namun demikian, seberat apapun punishment
diberikan harus dilakukan upaya perbaikan atau pembinaan untuk rehabilitasi dan
resosialisasi. Misalnya terlambat masuk kelas awalnya diberikan punisment
berupa teguran, atau diberi suatu tugas. Apabila keterlambatan terjadi lagi
perlu diberikan tindakan disiplin yang akan mencegah siswa lainnya untuk melakukan kesalahan yang sama.
Pelanggaran-pelanggaran esensial seperti
terlibat dalam penggunaan narkoba, tindak kekerasan atau perbuatan yang
melanggar hukum dan tindak kriminal perlu dilakukan shock therapy misalnya skorsing atau bahkan dikeluarkan.
Peserta didik
yang melakukan kebaikan dan menunjukkan prestasi diberikan penghargaan atau
pujian. Untuk memberikan sugesti dan dorongan positif agar memiliki karakter
yang baik perlu dilakukan tradisi pemberian penghargaan pada siswa-siswa yang
berprestasi terbaik tidak hanya di bidang akademik saja tetapi juga siswa
yang kepribadiannya terbaik yang ditentukan berdasarkan kriteria
atau parameter tertentu yang terukur.
4) Sosialisasi Dalam Organisasi
Peserta didik
adalah aset bangsa yang diharapkan akan menjadi kader penerus pembangunan di
masa depan. Salah satu potensi yang menjadi aset generasi muda adalah potensi kepemimpinan. Potensi ini perlu
diarahkan pada potensi kepemimpinan yang sesuai dengan karakter budaya bangsa.
Karena itu perlu direkayasa kondisi pendidikan yang memberikan peluang berupa
tugas, tantangan, persoalan dan situasi yang dapat mengaktualisasikan potensi
kepemimpinan dan perilaku berorganisasi peserta didik. Penciptaan kesempatan
yang luas untuk dapat berlatih kepemimpinan dan organisasi penting karena akan
terjadi interaksi efektif antar peserta didik. Aktualisasi nilai-nilai budaya
bangsa seperti budaya demokrasi, musyawarah mufakat, gotong royong, kekeluargaan,
kebersamaan dan sekaligus kemampuan manajerial seperti perencanan,
pengorganisasian, pengambilan keputusan, solusi konflik dan pengawasan akan dapat dikembangkan dengan optimal.
Misalnya tugas ketua kelas dilakukan secara bergilir
agar setiap siswa pernah merasakan menjadi pemimpin (leader) dan anggota
(member). The good leader berasal
dari the good member. Pengalaman secara langsung memimpin dan
dipimpin ini sangat penting bagi pengembangan potensi kepemimpinannya yang
kelak akan berguna dalam dunia karier dan pengabdiannya. Sekolah perlu
memberikan kesempatan memimpin
organisasi dan berdemokrasi melalui
OSIS dan Perwakilan Kelas secara sungguh-sungguh. Selain itu perlu diberikan kegiatan-kegiatan yang
melibatkan berbagai kepanitiaan siswa untuk memberikan peluang secara
bergantian melaksanakan kegiatan
organisasi antara lain kegiatan peringatan hari besar nasional.
Tahapan Implementasi
Proses pembentukan karakter budaya bangsa
pada peserta didik tidak dapat dilakukan secara cepat dan tiba-tiba, tetapi
perlu dilakukan dengan tahapan-tahapan berjenjang mulai dari penanaman,
penumbuhan, pemantapan dan pengembangan.
a.
Tahap Penanaman.
Dalam tahap ini ditanamkan nilai-nilai kebaikan agar menjadi kebiasaan,
yaitu nilai-nilai yang ada dalam hidup dan kehidupan baik dalam kehidupan di
rumah, di sekolah maupun di masyarakat, seperti nilai-nilai kebaikan, misalnya
mengapa kita harus menghormati orang lain, mengapa kita harus membantu orang
lain dan sebagainya. Di samping itu juga perlu ditanamkan tentang nilai-nilai
keagamaan, kesopanan, kebangsaan, kejuangan dan nilai-nilai yang lainnya sesuai
dengan tingkatan usia atau tingkatan pendidikan anak. Dalam tahap penanaman ini
anak dibiasakan berbuat kebaikan. Dalam
membiasakan anak berbuat kebaikan aspek keteladanan dengan prinsip ing
ngarsa sung tuladha adalah penting dan sangat diperlukan, karena faktor ini
akan menjadi landasan yang fundamental anak dalam menginternalisasi nilai-nilai
yang sedang atau telah diterima dari lingkungan di mana ia berada. Agar
nilai-nilai yang ditanamkan benar-benar melekat dalam diri anak, maka perlu
diulang-ulang (repetiiton) sampai anak-anak tersebut tahu, mengerti dan
memahami apa yang diterima dan apa manfaatnya sehingga ia dapat melaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Tahap Penumbuhan.
Nilai-nilai yang telah ditanamkan tadi kemudian ditumbuhkan. Dalam tahap
penumbuhan ini anak diberikan tanggung jawab sesuai dengan tingkatan
perkembangan usianya, sehingga nilai-nilai yang diharapkan dapat tumbuh dan hal
tersebut akan melekat dalam dirinya dan menjadi jati dirinya, sehingga
terbentuklah karakternya. Karena isi dan makna dari nilai-nilai tersebut telah
diinternalisasi dan dilaksanakan maka nilai tersebut akan menjadi budaya, yaitu
sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, kalau tidak dilaksanakan maka
ia akan merasa tidak enak. Inilah sebenarnya yang disebut dengan terbentuknya
karakter dan budaya pada diri anak. Dalam hal ini orang tua, guru atau pendidik memberikan penguatan atau
pembimbingan (Ing madya mangun karsa) pada saat anak melakukan atau melaksanakan kegiatan yang memuat
nilai-nilai yang sedang ditumbuhkan oleh orang tua, guru atau pendidik. Kemudian Tut Wuri Handayani yaitu memberi kebebasan yang bertanggung
jawab.
c.
Tahap Pengembangan.
Dalam tahap ini, nilai-nilai yang telah ditanamkan dan ditumbuhkan pada
diri anak perlu dikembangkan menjadi nilai-nilai diri, artinya nilai-nilai yang
sudah menjadi satu dalam dirinya yang tercermin dalam sikap dan perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap ini anak diberikan tugas dan tanggung
jawab, di samping tanggung jawab untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga
dikembangkan tanggung jawab untuk kepentingan orang lain sesuai dengan umur atau
jenjang pendidikan. Dalam hal ini anak dapat diberi tugas-tugas seperti
misalnya tugas-tugas dalam OSIS, Perwakilan Kelas, koperasi sekolah,
panitia-panitia peringatan hari-hari besar nasional, peringatan hari-hari besar
keagamaan dan lain-lain yang menunjang pengembangan diri anak. Melalui tahap
pengembangan ini anak akan belajar mengaktualisasikan diri dalam bentuk
kegiatan nyata dalam kehidupan yang berguna bagi diri sendiri maupun
berguna bagi orang lain. Dalam tahap
pengembangan ini perlu diperhatikan agar tidak melupakan keseimbangan antara
pengembang aspek cipta, rasa dan karsanya.
d.
Tahap Pemantapan.
Nilai-nilai yang sudah ditanamkan,
ditumbuhkan dan dikembangkan kemudian dimantapkan. Dalam tahap pemantapan ini
anak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan dalam masyarakat, tentunya
kegiatan ini disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya yaitu SMA. Dengan tahap
pemantapan ini diharapkan anak-anak sudah siap untuk memasuki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Pendekatan Dalam Implementasi Pembentukan Karakter
Pelaksanaan pendidikan karakter budaya bangsa perlu menggunakan
pendekatan-pendekatan yang dapat memudahkan
pencapaian tujuan. Pendekatan ini dilakukan agar peserta didik sebagai
subyek dalam pengembangan karakter menjadi dekat dengan obyek atau sasaran kegiatan yaitu implementasi nilai-nilai budaya
sehingga pelaksanaannya menjadi lebih jelas, mudah dan hasilnya optimal. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
antara lain :
a. Pendekatan dengan Sistem Among, yaitu ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, yang dilandasi oleh asas kekeluargaan, yaitu saling asah, saling asih dan
saling asuh di antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan guru dengan
guru yang berjalan secara sinergis. Jadi, guru dalam mendidik dan mengajar di
depan hendaknya dapat memberi dan menjadi contoh teladan, di tengah memberi
penguatan, perhatian dan bimbingan, sedangkan di belakang memberi dorongan dan
mengingatkan bila anak melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya dan keluar
dari konteksnya, namun tidak dibenarkan bila mencela atau mematahkan semangat
yang dapat membuat anak menjadi patah semangat atau putus asa, karena hal ini
akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak.
b. Pendekatan
inspiratif, yaitu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dengan
menciptakan situasi atau kegiatan yang mampu memberikan inspirasi pada diri
siswa, seperti misalnya memberikan cerita tentang tokoh-tokoh pahlawan atau
orang-orang yang berhasil yang memiliki karakter baik yang bisa dicontoh,
melalui jumpa tokoh nasional dan lain-lain, sehingga anak-anak terinspirasi
akan keberhasilan para tokoh tersebut. Nilai-nilai yang terdapat dalam diri
tokoh akan keberhasilannya atau keteladanannya akan diinternalisasi ke dalam
dirinya sehingga menjadi nilai diri. Dari nilai-nilai yang telah
terinternalisasi menjadi nilai diri tersebut akan mendorong tumbuh dan
berkembangnya karakter dan budaya anak.
c. Pendekatan keteladanan, yaitu sikap
teladan yang tercermin dalam diri orang tua atau guru yang nampak dalam sikap perilaku dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh orang tua
atau guru. Jadi apa yang diucapkan hendaknya sama dengan apa yang dilakukan,
baik saat kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah karena hal ini akan
dilihat dan di dengarkan langsung oleh anak-anak.
d. Pendekatan intelektualistik, yaitu
pendekatan yang dilakukan melalui pengajaran di kelas, berupa upaya-upaya
penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran, sehingga secara
kognitif anak memiliki pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai tersebut
secara efektif pada derajat kemampuan tertentu, dengan demikian anak dapat
menerima dan melaksanakan sistem nilai yang telah ditanamkan.
e. Pendekatan aktualistik, yaitu anak
akan mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah menjadi bagian dari dirinya
melalui berbagai kegiatan nyata yang diberikan kepada anak. Dalam hal ini anak
akan melakukan kegiatan-kegiatan kongkrit yang ada dalam kehidupan. Melalui
pendekatan aktualistik ini anak akan membiasakan diri untuk mengembangkan sikap
dan perilaku dalam kehidupannya sesuai dengan tata nilai yang ada dalam masyarakat.
f. Pendekatan eksemplar, yaitu anak
dibawa ke dalam dunia nyata yang ada dalam lingkungan kehidupan di sekitarnya
sehingga anak dapat menghayati nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sekitarnya.
Dengan penghayatan ini diharapkan anak dapat memahami kehidupan nyata, apa yang
boleh dan harus dilakukan serta apa yang tidak boleh dilakukan ia sudah dapat
membedakannya. Kegiatan ini untuk menumbuhkan rasa keterpanggilan diri terhadap
kehidupan lingkungan, sehingga bila terjadi sesuatu yang ada di sekitarnya anak
merasa terpanggil atau tergugah hatinya untuk ikut membantunya. Seperti
misalnya membantu gotong royong dalam kerja bakti di masyarakat, membantu
tetangga yang sedang tertimpa musibah, membantu kegiatan siskamling, donor
darah, Latihan Kemasyarakatan di daerah yang miskin atau daerah terpencil yang
kurang maju, bakti sosial, pasar murah, home industri, dan lain
sebagainya.
Kegiatan yang dilakukan adalah
kegiatan yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, yang hasilnya juga dapat
dinikmati langsung oleh masyarakat. Kegiatan semacam ini akan memberikan dampak
yang sangat positif dalam pengalaman hidup anak-anak di dunia yang nyata, dan
diharapkan di dalam dirinya akan tumbuh jiwa sosial dan jiwa pengabdian. Dengan
demikian diharapkan anak akan memiliki sikap dan kemampuan untuk mau
mengabdikan dirinya kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Sumber Pustaka
http://www.klik-galamedia.com
Thanks gan udah share , blog ini sangat bermanfaat .............................
BalasHapusbisnistiket.co.id