A.
Kekuatan Aqidah
Aqidah merupakan hal pokok dalam agama Islam. Akidah yang menjadi pondasi
utama dari bangunan islam seseorang, jika pondasinya kokoh maka akan kokoh pula
bangunannya dan sebaliknya jika pondasinya rapuh maka akan rapuh pula bangunan
tersebut. Jika diibaratkan bangunan begitu pula keislaman kita, yang jelas
sangat dipengaruhi oleh aqidah atau keimanna kita kepada Allah.
1. Pengertian Aqidah
‘Aqada – ya’didu – ‘aqdan artinya mengikat
tali, mengokohkan janji, dan menyatakan ikatan jual-beli. Juga bandingkan
‘aqida – ya’qadu – ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-patah (gagap), terikat,
hasil kesepakatan, janji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia
dipercaya, persetujuan, dalil, alasan, ikatan nikah, kalung leher, sukar,
sulit, dan teka-teki. (Mahmud Yunus, 1989:2274-275).
Penggunaan kata aqidah dalam Al-Quran
berarti sumpah setia diantara manusia (Qs, An-Nissa, 4:33; Al-Maidah,
5:1&89). Misalnya dalam hal pembagian harta waris, orang yang terikat
sumpah setia dengan orang yang meninggal dunia tersebut berhak menerima harta
waris. Apabila sumpah setia itu dilanggar, maka ia harus menggantinya dengan
kifarat (memberi makan/pakaian kepada 10 orang miskin atau membebaskan seorang
manusia dari status perbudakan, atau puasa 3 hari). Juga dapat berarti ikatan
nikah (Qs, Al-Baqarah, 2:235&237) atau kekakuan lidah (Qs, Thaha, 20:27)
atau ikatan tali (Qs, Al-Falah, 113:4).
Berdasarkan makna kamus maupun
penggunanya dalam Al-Quran maka aqidah dalam Islam dapat didefinisikan sebagai
perjanjian manusia dengan Tuhan yang berisi tentang kesediaan manusia untuk
tunduk dan patuh secara sukarela pada kehendak Allah.
2. Ruang Lingkup Aqidah
Kesediaan manusia untuk tunduk
dan patuh secara sukarela pada kehendak Allah tersebut mengandung 6 komponen
dasar perjanjian; yaitu keyakinan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,
keyakinan hati bahwa ada hal ghaib seperti malaikat, keyakinan hati bahwa ada
manusia biasa yang diberi amanah kerasulan oleh Allah, keyakinan hati bahwa ada
pertanggungjawaban amal perbuatan setelah terjadi kematian, dan keyakinan hati
bahwa ada aturan pasti yang melandasi kehidupan ini yang dibuat oleh Allah.
Dampak dari keyakinan tidak ada
tuhan selain Allah adalah kemandirian dalam menjalankan kehidupan semenjak
lahir sampai mati. Ketika seorang manusia dihadapkan pada kesulitan hidup, ia
akan meminta pertolongan kepada Allah semata, yang diekspresikan dalam bentuk
giat bekerja, terukur dalam merencanakan perbuatan, pandai mengambil pelajaran
dari pengalaman, dan taat azas dalam mencari dan mengusahakan pemecahan atas
kesulitan hidup yang dialaminya sampai berhasil diatasi.
Dampak dari keyakinan ada hal
ghaib adalah kontrol diri yang terukur dan objektif. Ketika seorang manusia
bergaul dengan manusia lain atau lingkungan hidupnya, ia sadar bahwa setiap
perbuatannya memberi pengaruh kepada orang lain atau lingkungan hidupnya
tersebut. Apabila ia sedang sendirian dan tidak sepasang mata pun yang melihat,
ia tetap akan memilih perbuatan yang bermanfaat bagi manusia lain dan
lingkungan hidupnya. Dilihat atau tidaknya oleh orang lain, ia tetap perbuatan
yang memberikan manfaat bagi diri dan lingkungan sosialnya.
Dampak dari keyakinan ada
amanah kerasulan yang diberikan Allah kepada manusia biasa adalah penghargaan
terhadap objektivitas informasi. Hanya informasi yang mengandung kenenaran
sajalah yang dapat dijadikan landasan perbuatan manusia, jika ia ingin selamat
dalam kehidupan ini maupun kehidupan nanti. Yang harus diikuti bukan Muhammad
bin Abdilah, melainkan kerasulan yang diamanahkan Tuhan kepadanya. Yang pantas
dijadikan kerasulan yang diamanahkan Tuhan kepadanya. Yang pantas dijadikan
landasan perbuatan manusia adalah kerasulan yang diamanahkan Allah kepada Isa,
Musa, Ibrahim, dan nabi-nabi laiannya, bukan meng’kultus’kan kesempurnaan tubuh
Isa, Musa, Ibrahim atau nabi-nabi lainya.
Dampak dari keyakinan ada
kumpulan petunjuk Tuhan yang pernah diberikan kepada para nabi adalah adanya
kepastian petunjuk hidup yang dapat diikuti atau diingkari manusia. Dampak dari
keyakinan ada pertanggungjawaban amal perbuatan setelah kematian adalah
keadilan dan sportivitas proses perbuatan. Hidup didunia jadi bermakna, karena
perbuatan yang dilakukan di dunia hari ini menjadi tumpuan harapan di dunia
yang akan datang. Sedangkan dampak dari keyakinan ada aturan pasti yang
mengikat alam semesta ini termasuk tubuh manusia adalah keleluasaan ruang dan
waktu bagi manusia untuk mengembangkan potensinya.
Ringkasnya, manusia yang
memenuhi perjanjian yang dibuatnya dengan Allah, akan menjadi manusia yang
mandiri, mampu mengendalikan diri, onjektif dalam menanggapi informasi, mampu
memilih yang terbaik bagi diri dan lingkungannya, sportif dalam berbuat, dan
selalu belajar dari pengalaman di masa lampau.
3. Kedudukan Aqidah
Aqidah
merupakan akar bagi setiap perbuatan manusia. manusia yang lisannya menyatakan
tunduk dan patuh secara sukarela pada kehendak Allah, pasti dampak perbuatannya
akan bermanfaat bagi manusia lain yang ada disekitarnya. Contohnya Nabi Ibrahim
AS. Ia pernah menambatkan keyakinan
bahwa patung berhala, bintang, bulan, matahari dan sejenisnya adalah Tuhan.
Tetapi setelah uji coba mereka semua itu lemah dan Nabi ibrahim pun tak mau
meyakininya. Keyakinan hati ini merupakan aqidah. Konsekuensi dari aqidah
tersebut ialah diujinya Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Allah
menguji apakh Nabi Ibrahim patuh atau ingkar. Dan ternya ta Nabi Ibrahim lolos
dari ujiannya itu dengan mengikhlaskan anaknya disembelih walaupun pada akhirnya
digantikan Allah dengan kambing yang besar. Ujian ini merupakan salah satu dari
bentuk kepatuhan kita apakah kita benar-benar tunduk pada-Nya atau hanya ucapan
belaka.
Itulah gambaran kedudukan aqidah
dalam ajaran Islam, yaitu sebagai akar setiap perbuatan manusia. Apabila akar
pohon perbuatan manusia itu kokoh, maka pohon perbuatan manusia itu akan
berbuah dan tahan dari berbagai tiupan angin cobaan. Sebaliknya apabila akar
pohon perbuatan manusia itu rapuh atau bahkan tanpa akar sama sekali, maka buah
perbuatan manusia itu tidak bermakna dan mudah roboh oleh tiupan godaan angin
sepoi-sepoi sekalipun.
B.
Etos Dakwah
Tidak mudah untuk menyusun
strategi dakwah terutama untuk menghasilkan etos dakwah yang kuat dalam konteks
masyarakat seperti sekarang ini. Kesulitan menghadang tatkala kita
menorehkan wajah ke depan langsung berhadapan dengan hamparan tatanan
masyarakat informatif-industrial berserta segala dampak yang ditimbulkannya.
Betapa rumitnya memetakan arah perkembangan masyarakat itu, sehingga kita gagap
menyiasatinya. Itu semua mewujudkan bahwa tuntutan akan keharusan
merubah strategi komunikasi dakwah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Gerakan dakwah juga perlu menaruh
perhatian terhadap berbagai persoalan pengiring yang muncul dalam masyarakat
global-industrial. Berbagai persoalan tersebut akan berkaitan dengan tumbuhnya
kawasan perumahan dan industri, perilaku dan tatanan sosial-budaya yang belum
diketemukan rujukannya dalam pemikiran klasik, munculnya kelompok
strategis baru (kelas menengah, generasi muda terdidik, profesional muda,
politisi, birokrat, dan intelektual), kemiskinan material dan spritual,
perluasan keterasingan dan penyimpangan sosial serta keagamaan, dan perluasan
kaum pekerja buruh.
Profesionalitas pelaku dakwah ditentukan oleh
kemampuan memanfaatkan secara maksimal menguasai seluruh model media komunikasi sosial
yang meliputi tv, radio, internet, buku, majalah dan koran disamping media
sosial budaya lainnya. Namun, sesuai kecenderungan masyarakat global-industrial
yang membelah keutuhan kemanusiaan menjadi bagian–bagian yang rinci sulit
diharapkan suatu sosok mubaligh yang memiliki kemampuan profesional
generalistik. Karena itu pemanfaatan media di atas memerlukan pembagian kerja
terprogram dan pelatihan yang terus menerus yang dapat dirubah dan dikembangkan
sesuai tuntutan masyarakat.
Strategi
dakwah sekarang harus mengarah pada penanganan masalah riil. Artinya bahwa
kegiatan dakwah harus merupakan usaha pemecahan atau penyelesaian masalah
kehidupan umat dan masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi
dan politik dalam kerangka masyarakat modern. Dengan memahami dakwah
sebagai pemecahan masalah diharapkan membuahkan tiga kondisi: pertama,
tumbuhnya kemandirian dan kepercayaan umat serta masyarakat sehingga berkembang
sikap optimis. Kedua, tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan
dakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih ideal. Ketiga,
berkembangnya suatu kondisi sosial dan ekonomi, politik serta iptek sebagai
landasan peningkatan kualitas hidup umat.
Uraian di
atas, setidaknya memberi kita jalan untuk memperlebar makna dakwah. Dalam arti
yang paling sempit dakwah adalah memanggil dan mengajak seseorang atau
sekelompok orang untuk memeluk agama Islam. Sedangkan arti yeng lebih luas
dakwah bisa dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas SDM, pengentasan
kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, dan pembebasan.
Jadi,
gerakan dakwah adalah gerakan
multidisipliner, multidimensi dan multifungsi yang dilakukan melalui
multimedia. Hanya melalui strategi budaya dan wawasan keagamaan yang lebih
dinamis dan kritis kita dapat menempatkan diri sebagai fasilitator dalam
dinamika sejarah dan perkembangan peradaban modern.
Dalam mengembangkan dakwah kita
tentu harus meniliki etos dakwah yang kuat, layaknya dalam sebuah pekerjaan
etos kerja profesional sangat dibutuhkan dalam dakwah etos dakwah juga sangat
diutamakan.
Dengan mengadopsi 8
etos kerja profesional Jansen Sinamo maka 8 etos tersebut dapat pula
diaplikasikan dalam dakwah, karena dakwah adalah suatu pekerjaan bahkan ia
adalah pekerjaan termulia di muka bumi ini. Pekerjaan para Nabi dan Rasul. Maka
bunyinya dapat berubah menjadi:
1. Dakwah adalah rahmat, maka berdakwah harus penuh syukur
2. Dakwah adalah amanah, maka berdakwah harus penuh dengan
tanggung jawab
3. Dakwah adalah panggilan, maka harus tuntas dan penuh
integrasi
4. Dakwah adalah aktualisasi, maka berdakwah harus penuh
semangat
5. Dakwah adalah ibadah, maka harus serius dan penuh
kecinyaan
6. Dakwah adalah seni jadi harus cerdas dan penuh
kreativitas
7. Dakwah adalah kehormatan maka harus tekun dan penuh
keunggulan
8. Dakwah adalah pelayanan, maka harus penuh kerendahan hati
C. Pengaruh
Kekuatan Aqidah Terhadap Etos Dakwah
Tujuan ajaran Islam
diberikan Allah kepada manusia ialah agar manusia hidup selamat dunia dan
akhirat. Allah menawarkan jalan keselamatan hidup kepada manusia melalui lisan
dan perbuatan para N. Tawaran keselamatan itu bersifat pilihan bagi manusia,
yaitu menerima tawaran dan konsekuensinya atau menolak tawaran dan
konsekuensinya pula.
Berpegang teguh kepada
ajaran Allah merupakan aqidah. Berpegang teguh kepada perjanjian dengan manusia
merupakan perwujudan akhlak. Ativitas memegang teguh ajaran Allah dan
perjanjian dengan manusia merupakan perwujudan syariah. Dengan kata lain,
perbuatan syari’ah didasari kelurusan aqidah dan dampaknya adalah akhlah
(kemanfaatannya akan dirasakan oleh manusia lain. Contohnya perbuatan shalat
adalah syari’ah. Tetapi shalat akan sia-sia, apabila tidak didasari keyakinan
bahwa perbuatan itu semata-mata untuk Allah (aqidah) dan tidak memberi manfaat
positif bagi manusia lain (akhlak). Perbuatan shalat itu menjadi bermakna,
apabila didasari motivasi semata-mata untuk Allah dan berdampak positif bagi
orang lain yang tercermin dari akhlaknya yang terpuji.
Begitu pula dengan
dakwah, udakwah merupakan bentuk syariah, yang jelas akhlaq dan aqidah
berpengaruh didini. Aqidah yang lurus akan menghasilkan pendakwah yang tangguh
karena mereka melakukannya karena Allah, serta pengiat dakwah itu juga akan
memiliki akhlak yang mulia sebagai buah dari aqidahnya yang lurus. Semuanya
saling berhubungan mdan tidak dapat dipisahkan. Sebuah uang logam. Uang logam
adalah syariah. Sisi satu uang logam tersebut adalah aqidah, sedangkan sisi
lainnya adalah akhlak. Syariah adalah ruang dan waktu bagi
terjadinya perilaku manusia. Perilaku manusia menjadi bermakna apabila didasari
tujuan yang jelas (Aqidah) dan berdampak positif bagi manusia lain (Akhlak).
Begiru pula
dengan dakwah. Dipengaruhi oleh aqidah karena, kedudukan aqidah
dalam ajaran Islam, yaitu sebagai akar setiap perbuatan manusia. Apabila akar
pohon perbuatan manusia itu kokoh, maka pohon perbuatan manusia itu akan
berbuah dan tahan dari berbagai tiupan angin cobaan. Sebaliknya apabila akar
pohon perbuatan manusia itu rapuh atau bahkan tanpa akar sama sekali, maka buah
perbuatan manusia itu tidak bermakna dan mudah roboh oleh tiupan godaan angin
sepoi-sepoi sekalipun.
Apabila aqidah
seseorang kokoh maka ia akan menjalankan segala yang diperintahkan-Nya dan
menjauhi apa yang dilarang-Nya. Dakwah merupakan salah satu perintahnya sesuai
dengan firman Allah dalam Al-Quran QS.
An-Nahl (16) : 125 yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” Dan dalam ayat lain Allah memerintahkan berdakwah
yakni pada QS. Ali Imrân (3) : 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Berdasarkan
ayat di atas Allah Swt menyiratkan perintah untuk berdakwah merupakan sebuah
keharusan sebagai seorang muslim, dimana ketaatan seseorang terhadap hukum yang
digariskan oleh Allah adalah cerminan dari aqidahnya sendiri. Semakin kuat
aqidahnya tentu ia tidak akan menyepelekan dakwah walaupun itu hanya
menyampaikan satu ayat.
Dakwah
tentu luas cakupannya, buah dari aqidah yaitu akhlak merupakan dakwah membrikan
suri tauladan yang baik. Selain itu dakwah menyampaikan sesuatu yang benar dan
melarang sutau kemungkaran. Dakwah dengan aqidah yang lurus akan menghasilkan spirit
positif dari pemilik kebenaran sehingga apa yang didakwahkan akan terjaga dan
keihklasan akan termurnikan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar