Tak Bisa
Kerjakan Soal, Guru Pukul Murid SD
Guru di
Kabupaten Minahasa itu akan dijerat dengan UU Perlindungan Anak
VIVAnews - Kasus
kekerasan guru terhadap siswanya kembali terjadi, kali ini di Kabupaten
Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Dua siswa SDN GMIM II Kawangkoan, Rivaldo
Rambitan dan Marsel Pomantow (keduanya berusia sebelas tahun), harus menjalani
perawatan medis akibat luka lebam setelah dihajar guru.
Rivaldo mengalami luka pada lengan
kanan sedangkan Marsel mengalami luka di bagian kepala akibat dipukuli oleh
guru berinisial OL alias Olga di sekolah itu.
Sementara itu, Olga, guru pelaku
pemukulan tersebut, kini harus menjalani pemeriksaan di Polres Kawangkoan,
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Saat dihubungi VIVAnews.com,
Selasa, 17 Januari 2012, Kapolres Minahasa, AKBP Wirdenis Herman, menyatakan
kasus itu berawal saat korban tidak dapat mengerjakan soal matematika di papan
tulis kelasnya. Akhirnya, Olga melakukan tindak kekerasan pada kedua murid
kelas enam itu memakai gagang sapu.
Merasa kesakitan, kedua murid
mengadu kepada kedua orang tuanya. Mengetahui anaknya diperlakukan tidak layak,
orang tua korban langsung melaporkan hal ini di Polsek Kawangkoan.
"Oknum guru itu kini telah kami
amankan dan sementara dalam proses untuk diambil keterangannya dihadapan
penyidik," ucap Herman.
Oknum guru yang melakukan tindakan
kekerasan itu, lanjut Herman, akan dijerat dengan Undang-undang Perlindungan
Anak. “Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak,
pasal 80, " ungkapnya.
Menurut Hasbullah (1997) istilah
pendidikan atau paedagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar
ia menjadi dewasa. Sedangkan menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Melihat dari defini pendidikan itu
sendiri kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan jelas bertentangan
dengan apa yang seharusnya terjadi dilapangan. Apalagi apabila kekerasan itu
dilakukan oleh orang yang seharusnya memberikan panutan bagi seluruh anak
didiknya. Guru harusnya mampu mendidik dengan titik berat memberikan arah dan
motivasi pencapaian tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang,
memberikan fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai,
dan juga membantu perkembangan aspek-aspek pribadi, seperti sikap, nilai-nilai,
dan penyesuaian diri. Jikalau seorang guru pada aspek pertama yakni memberikan
arah dan motivasi saja dikatakan sudah maka di lain aspekpun ia dianggap kurang
mumpuni.
Berkaca pada berbagai realitas yang
ada di lingkungan, ditawarkannya konsep guru yang pancasilais jelas sangan
membantu. Dengan menerapkan segala kaidah-kaidah yang ada dalam pancasila
tentunya guru akan mempunyai nilai-nilai luhur yang diharapkan mampu juga
ditularkan pada peserta didiknya. Guru yang pancasilais disini dikatakan bukan
saja guru yang hafal setiap sila dalam pancasila saja namun juga dapat
mengamalkan sebagaimana mestinya, menghayati dengan direalisasikan dalam segala
tindakan dan ucapan, juga memberikan dorongan kepada siswa dan siswinya untuk
melakukan hal serupa.
Melihat artikel yang berjudul “Tak Bisa Kerjakan
Soal, Guru Pukul Murid SD” hal ini jelas bertentangan dengan sila manapun yang
ada dalam Pancasila, jadi dapat dikatakn guru yang berada dalam artikel itu sebagai
guru yang tidak pancasilais. Disaat seharusnya guru mengaplikasikan Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan bertindak sesuai dengan apa yang dilarang dan
diperintahkan-Nya, ketika diharapkan seorang guru berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan, dengan melakukan tindak kekerasan ia sama saja dengan
mengesampingkan sila persatuan Indonesia yang berdampak pada merenggangnya
hubungan baik antara guru dan murid, guru dan guru, serta guru dan orang tua
murid. Selain itu ia pun tidak mengamalkan sila keempat dengan bertindak
sewenang-wenang terhadap siswa, padahal sebenarnya tidak perlu dengan tindak
kekerasan masalah yang terhitung sepele itu dapat diselesaikan jika komunikasi
diantara keduanya berjalan baik. Dan guru yang berada di Kabupaten Minahasa
tersebut melanggar aspek keadilan, tindakannya jelas mengisyaratkan bahwa ia
tidak bisa bersikap adil terhadap siswanya, karena pada hakikatnya adil adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan apabila guru melihat adanya kekurangan
pada anak didiknya guru harus mampu adil dengan mengambil tindakan yang
seharusnya guru lakukan, bukan malah melakukan tindakan kekerasan.
Fenomena kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan menurut Rahman
Assegaf (2004) memiliki beberapa sebab, yakni
: Petama, kekerasan dalam pendidikan
bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman,
terutama fisik. Kedua, Kekerasan bisa
diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Ketiga, kekerasan mungkin pula
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Keempat, kekerasan bisa jadi merupakan
refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat
sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant
solution dan jalan pintas. Kelima,
kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku.
Faktor pertama dan kedua merupakan manivestasi dari kondisi internal
pendidikan, sedangkan faktor ketiga sampai kelima merupakan kondisi eksternal
pendidikan.
Salah satu, beberapa, atau bahkan semua penyebab kekerasan yang
dikemukakan sebelumnya bisa saja pada anak SD itu. Tapi yang pasti, guru tetap
tidak bisa dibenarkan ketika melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya baik
itu kekerasan fisik maupun psikologis. Tugas guru sudah disampaikan sebelumnya
dan diharapkan seluruh guru melakukan pergerakan dan terus melaksanakan
evaluasi diri agar tujuan dari ia mengajar itu terpenuhi. Bukan hanya sekedar
rutinitas profesi namun diharapkan setiap guru menjalankan tugasnya sesuai
dengan hati nurani.
Guru yang Pancasilais sesungguhnya dapat dijadikan alternatif solusi
dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan di lembaga pendidikan ini. Karena
guru yang sungguh sungguh menghayati dan mengamalkan setiap butir sila dalam
pancasila tentu arah dan tujuannya jelas juga apabila hendak melenceng ke arah
yang salah dapat sesegera mungkin kembali pada apa yang harusnya mereka tapaki.
Ia akan senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan sosial, bersosialisasi dengan baik dengan
masyarakat, dan selalu membela kebenaran dan kedilan. Selain itu bergaul dengan
siapa saja tanpa membedakan ras, suku agama, golongan maupun unsur-unsur pembeda
lainnya, mampu berbaur dengan lapisan masyarakat manapun karena sesunggguhnya
setiap siswa memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Guru yang
mancasilais pun diharapkan selalu mengutamakan msyawarah untuk kemaslahatan
bersama, tidak memaksakan kehendak, dan menerima hasil musyawarah bersama
dengan lapang dada. Tak ketinggalan ia pun harus senantiasa menyeimbangkan
anatar hak dan kewajibanya. Dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila berbagai problematika dalam dunia pendidikan akan
teratasi, begitu pula pada fenomena kekerasannya.
Daftar
Pustaka
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Assegaf, Abd Rahman. 2004. Pendidikan
Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Palmer, Parker J. 2009. Keberanian
Mengajar. Jakarta: PT. Macana Jaya Cemerlang.
Kusmayadi, Ismail. Jadi Guru Pro itu
Mudah. Jakarta: Tiga Kelana.
http://nasional.vivanews.com/news/read/280818-tak-bisa-kerjakan-soal--guru-pukuli-murid-sd
diakses hari Rabu tanggal 21 Maret 2012 pukul 20.22 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar