Sabtu, 13 Oktober 2012

Peran Guru Pancasilais terhadap Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan


Tak Bisa Kerjakan Soal, Guru Pukul Murid SD
Guru di Kabupaten Minahasa itu akan dijerat dengan UU Perlindungan Anak

VIVAnews - Kasus kekerasan guru terhadap siswanya kembali terjadi, kali ini di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Dua siswa SDN GMIM II Kawangkoan, Rivaldo Rambitan dan Marsel Pomantow (keduanya berusia sebelas tahun), harus menjalani perawatan medis akibat luka lebam setelah dihajar guru.
Rivaldo mengalami luka pada lengan kanan sedangkan Marsel mengalami luka di bagian kepala akibat dipukuli oleh guru berinisial OL alias Olga di sekolah itu.
Sementara itu, Olga, guru pelaku pemukulan tersebut, kini harus menjalani pemeriksaan di Polres Kawangkoan, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Saat dihubungi VIVAnews.com, Selasa, 17 Januari 2012, Kapolres Minahasa, AKBP Wirdenis Herman, menyatakan kasus itu berawal saat korban tidak dapat mengerjakan soal matematika di papan tulis kelasnya. Akhirnya, Olga melakukan tindak kekerasan pada kedua murid kelas enam itu memakai gagang sapu.
Merasa kesakitan, kedua murid mengadu kepada kedua orang tuanya. Mengetahui anaknya diperlakukan tidak layak, orang tua korban langsung melaporkan hal ini di Polsek Kawangkoan.
"Oknum guru itu kini telah kami amankan dan sementara dalam proses untuk diambil keterangannya dihadapan penyidik," ucap Herman.
Oknum guru yang melakukan tindakan kekerasan itu, lanjut Herman, akan dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak. “Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, pasal 80, " ungkapnya.

Menurut Hasbullah (1997) istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Sedangkan menurut UU No. 20 tahun  2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Melihat dari defini pendidikan itu sendiri kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan jelas bertentangan dengan apa yang seharusnya terjadi dilapangan. Apalagi apabila kekerasan itu dilakukan oleh orang yang seharusnya memberikan panutan bagi seluruh anak didiknya. Guru harusnya mampu mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, memberikan fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai, dan juga membantu perkembangan aspek-aspek pribadi, seperti sikap, nilai-nilai, dan penyesuaian diri. Jikalau seorang guru pada aspek pertama yakni memberikan arah dan motivasi saja dikatakan sudah maka di lain aspekpun ia dianggap kurang mumpuni.
Berkaca pada berbagai realitas yang ada di lingkungan, ditawarkannya konsep guru yang pancasilais jelas sangan membantu. Dengan menerapkan segala kaidah-kaidah yang ada dalam pancasila tentunya guru akan mempunyai nilai-nilai luhur yang diharapkan mampu juga ditularkan pada peserta didiknya. Guru yang pancasilais disini dikatakan bukan saja guru yang hafal setiap sila dalam pancasila saja namun juga dapat mengamalkan sebagaimana mestinya, menghayati dengan direalisasikan dalam segala tindakan dan ucapan, juga memberikan dorongan kepada siswa dan siswinya untuk melakukan hal serupa.
Melihat artikel yang berjudul “Tak Bisa Kerjakan Soal, Guru Pukul Murid SD” hal ini jelas bertentangan dengan sila manapun yang ada dalam Pancasila, jadi dapat dikatakn guru yang berada dalam artikel itu sebagai guru yang tidak pancasilais. Disaat seharusnya guru mengaplikasikan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan bertindak sesuai dengan apa yang dilarang dan diperintahkan-Nya, ketika diharapkan seorang guru berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, dengan melakukan tindak kekerasan ia sama saja dengan mengesampingkan sila persatuan Indonesia yang berdampak pada merenggangnya hubungan baik antara guru dan murid, guru dan guru, serta guru dan orang tua murid. Selain itu ia pun tidak mengamalkan sila keempat dengan bertindak sewenang-wenang terhadap siswa, padahal sebenarnya tidak perlu dengan tindak kekerasan masalah yang terhitung sepele itu dapat diselesaikan jika komunikasi diantara keduanya berjalan baik. Dan guru yang berada di Kabupaten Minahasa tersebut melanggar aspek keadilan, tindakannya jelas mengisyaratkan bahwa ia tidak bisa bersikap adil terhadap siswanya, karena pada hakikatnya adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan apabila guru melihat adanya kekurangan pada anak didiknya guru harus mampu adil dengan mengambil tindakan yang seharusnya guru lakukan, bukan malah melakukan tindakan kekerasan.
Fenomena kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan menurut Rahman Assegaf (2004)  memiliki beberapa sebab, yakni : Petama, kekerasan dalam pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Kedua, Kekerasan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Ketiga, kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Keempat, kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution dan jalan pintas. Kelima, kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku. Faktor pertama dan kedua merupakan manivestasi dari kondisi internal pendidikan, sedangkan faktor ketiga sampai kelima merupakan kondisi eksternal pendidikan.
Salah satu, beberapa, atau bahkan semua penyebab kekerasan yang dikemukakan sebelumnya bisa saja pada anak SD itu. Tapi yang pasti, guru tetap tidak bisa dibenarkan ketika melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya baik itu kekerasan fisik maupun psikologis. Tugas guru sudah disampaikan sebelumnya dan diharapkan seluruh guru melakukan pergerakan dan terus melaksanakan evaluasi diri agar tujuan dari ia mengajar itu terpenuhi. Bukan hanya sekedar rutinitas profesi namun diharapkan setiap guru menjalankan tugasnya sesuai dengan hati nurani.
Guru yang Pancasilais sesungguhnya dapat dijadikan alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan di lembaga pendidikan ini. Karena guru yang sungguh sungguh menghayati dan mengamalkan setiap butir sila dalam pancasila tentu arah dan tujuannya jelas juga apabila hendak melenceng ke arah yang salah dapat sesegera mungkin kembali pada apa yang harusnya mereka tapaki.
Ia akan senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan sosial, bersosialisasi dengan baik dengan masyarakat, dan selalu membela kebenaran dan kedilan. Selain itu bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan ras, suku agama, golongan maupun unsur-unsur pembeda lainnya, mampu berbaur dengan lapisan masyarakat manapun karena sesunggguhnya setiap siswa memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Guru yang mancasilais pun diharapkan selalu mengutamakan msyawarah untuk kemaslahatan bersama, tidak memaksakan kehendak, dan menerima hasil musyawarah bersama dengan lapang dada. Tak ketinggalan ia pun harus senantiasa menyeimbangkan anatar hak dan kewajibanya. Dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila berbagai problematika dalam dunia pendidikan akan teratasi, begitu pula pada fenomena kekerasannya.


Daftar Pustaka
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Assegaf, Abd Rahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Palmer, Parker J. 2009. Keberanian Mengajar. Jakarta: PT. Macana Jaya Cemerlang.
Kusmayadi, Ismail. Jadi Guru Pro itu Mudah. Jakarta: Tiga Kelana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar