Pendidikan
berasal dari kata didik, mendidik berarti memelihara dan membentuk latihan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1991) Pendidikan diartikan sebagai proses
pengubahan sikap dan laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Poerbakawatja
dan Harahap dalam Muhibbin Syah (2001) menyatakan bahwa pendidikan merupakan
usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang
selalu diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap segala
perbuatan. Dalam hal ini tentu proses itu membutuhkan beragam hal untuk
menyukseskan pendidikan itu sendiri, mulai dari pendidik, peserta didik, sarana
dan prasarana, juga beragam faktor yang berpengaruh dalam proses pendidikan
ini.
Merunut
pada kenyataan di lapangan berbagai aspek yang menunjang pendidikan baik
sekolah dasar, sekolah menengah, pendidikan tinggi apalagi pendidikan seumur
hidup atau pendidikan sepanjang hayat masih jauh panggang daripada api.
Pendidik, peserta didik, isi, metode, lingkungan, dan banyak hal lain yang
masih bertentangan dengan apa yang dicita-citakan para founding father bangsa kita dulu. Bukan tanpa usaha memang namun
usaha yang dilakukan kini kurang dapat dimaksimalkan karena metal kita yang
masih jauh menuju metal perubahan yang beradab untuk menembus cakrawala
pendidikan yang maha luas ini.
Peserta
didik yang notabene merupakan sentral dari pendidikan itu sendiri memiliki
keinginan yang rendah dalam bidang apapun. Seringkali mereka bersekolah hanya
pergi ke sekolah mendengarkan guru ceramah kemudian pulang. Hanya sebatas itu,
tidak ada keinginan keras untuk berinisiatif belajar sendiri, memecahkan
berbagai problematika yang ada, atau minimalnya belajar memaknai hakikat
pendidikan yang sebenarnya.
Hal
ini memang bukan hanya terjadi di bangsa Indonesia, namun mudahnya kita bercermin
pada bangsa kita sendiri saja yang realitanya sangat dekat dan terlihat nyata.
Contoh kecil lainya adalah rendahnya minat baca dikalangan siswa yang
menyebabkan rendahnya juga ilmu pengetahuan yang dimiliki, seringkali kantin di
sekolah lebih ramai daripada perpustakaan. Gedung perpustakaan yang mewah
dengan berbagai fasilitas dan ratusan bahkan ribuah buku sama sekali tidak
menggiurkan bagi para pelajar negeri kita ini. Ditambah lagi berbagai ejekan
yang mungkin muncul ketika seseorang sering bertandang ke perpustakaan yang
semakin memperkecil minat siswa untuk membaca menggali lautan ilmu di dalam
buku. Keadaan ini yang disinyalir karena belum adanya atmosfer belajar yang
baik di lingkungan pendidikan kita.
Keadaan
lain yang sangat disayangkan adalah ketika banyak siswa yang malah berkeliaran
di jalanan ketika jam pelajaran sedang berlangsung, tentu kita tidak bisa terus
berbaik sangka jika berbagai kelompok siswa yang jelas-jelas memakai atribut
sekolah berada di halte bis, merokok, dari pagi hingga menjelang berakhirnya
jam pelajaran. Kegiatan ini tak jarang mewarnai kehidupan jalan protokol
kota-kota besar. Keadaan ini diperparah lagi dengan beragam akibat buruk yang
ditimbulkan mereka seperti munculnya geng-geng pelajar yang memicu beragam konflik
diantara mereka, salah satunya konflik berupa pertentangan fisik, bernama
tauran pelajar. Mengerikan memang namun kita tidak bisa menutup mata, realitas
itu ada.
Seperti
yang diungkapkan oleh Noeng Muhadjir (1994) bahwa pada hakikatnya aktivitas
pendidikan selalu berlangsung dengan melibatkan unsur subyek atau pihak-pihak
sebagai aktor penting. Aktor penting itu disebut sebagai subjek penerima di
satu pihak dan subjek pemberi di pihak lain dalam suatu interaksi pendidikan.
Dalam praktiknya, subyek penerima adalah peserta didik, sedangkan subjek
pemberi adalah pendidik.
Jika
tadi mengupas bagaimana realita peserta didik, maka yang tak kalah penting kita
juga perlu mencermati bagaimana realita yang terjadi pada pendidik. Tak bisa
dipungkiri bahwa gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi seorang guru memang patut
diberikan, terutama bagi ia para penyebar ilmu dipelosok negeri yang seringkali
tak tersentuh oleh tangan-tangan penguasa. Namun, kadangkala pendidik kini
memiliki moral yang cukup mengkhawatirkan, mereka melakukan hal-hal yang jelas
tidak pantas dilakukan oleh orang yang oleh masyarakat diberi label orang yang
harus digugu dan ditiru.
Sebutlah
saja, pada saat pelaksanaan Ujian Nasional, dengan dalil saking sayangnya pada
anak didik mereka mengabaikan integritasnya sebagai guru dengan membocorkan
soal atau bahkan menjual kunci jawaban pada siswanya. Padahal hakikat sayang
yang sesungguhnya tidak terletak pada hal yang demikian, tetapi pada pengajaran
budi pekerti untuk anak didiknya sehingga tercipta insan yang dibutuhkan oleh
bangsa, negara, dan juga agama.
Perubahan
mendasar mutlak dibutuhkan disini, baik perbaikan dari pendidik maupun peserta
didik. Lebih ditekankan pada perbaikan mental yang merupakan dasar, jika
mentalnya sudah mantap bukan hal yang mustahil pendidikan di Indonesia lebih
maju dari negara-negara yang sekarang memegang kendali dunia.
Pada
dasarnya berbagai macam permasalahan bangsa ini terletak pada mental. Indonesia
penuh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena memeng kita sudah dilatih dan
dibiasakan bermental korup sehingga korupsi mendarah daging. Begitu pula dalam
dunia pendidikan mental mencari ilmu dan mengembangkan ilmu pendidikan masih
sangat minim, sehingga diperlukan beragam konsep terbaik yang dapat membantu
memperbaiki konsisi pendidikan kita saat ini.
Solusi
lain yang ditawarkan adalah menginternalisasikan pendidikan karakter, bagi
siswa maupun guru yang mengajarkannya. Penanaman nilai luhur yang dulu telah
diimplementasikan nyata oleh pendiri kita, tidak ada salahnya digali dan
diamalkan kembali oleh kita selaku generasi penerusnya. Nilai luhur itu
katakanlah kejujuran, kata yang sangat lekat di telinga kita, dengan bersikap
jujur dalam tindakan, ucapan, pikiran, dan perasaan percayalah tak akan ada lagi
contek masal dikalangan siswa dan ta akan ada lagi pemaalsuan ijasah dan
berbagai problematika yang sesungguhnya mencoreng pendidikan di negeri kita
tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar