Rabu, 24 April 2013

Hidup yang Memberi sarana Kehidupan




Tiba-tiba sadar bahwa bekas luka ini belum juga bisa tersembuhkan. Padahal kecelakaan itu Sudah terjadi lama, Ya Allah berikan kecepatan dalam penyembuhan.  Aku ingin terus menjadi perantara kehidupan mereka.
***
Aku hanya bingung dengan jarak yang memisahkan dan mematikan. Aku juga tak habis fikir dengan apa yang sebenarnya ada dalam bayangan. Kemewahan duniawi yang mereka rasakan tidakkah terlalu murah harganya jika dibandingkan dengan semilir angin yang aku hasilkan.
Tanda tanya itu belum juga terjawab saat mereka mendirikan mopnumen-monumen yang ditanda tangani pejabat Jakarta. Untuk apa ya? Melukis sejarah? Bisa jadi, tapi yang lebih tidak  masuk nalar adalah patung-patung selamat datang itu, menggambarkan keagungankah? Menyiratkan keangkuhan? Bagiku itu kembali ke alam jahiliah. Memuja patung. Bukankah tidak ada mulianya ya? Berjuta-juta dimusnahkan untuk membuat sebuah benda mati tak berfungsi, lebih baik dialukasikan saja untuk perawatan dan pelestarian atau biaya perang fisabilillah.
***
Aku semakin terusik pada omongan dua bocah itu, mereka bilang akan dibangun air mancur lengkap dengan tarian-tarian airnya, untuk apa? Untuk menampung genangan air tatkala hujan lebatkah, atau menjadi sumber air minum penduduk kota, jangan-jangan hanya sekedar penghias saja. Lagi lagi ada tanda tanya. Ah, namanya juga bocah, mungkin mereka hanya membual saja tersugesti oleh permaian rumah-rumahan yang sering mereka mainkan.

Siang yang terik, tapi aku tidak pernah merasa kepanasan, dan lihatlah malah mereka yang merasakan gerahnya  cuaca. Salah siapa, sudah banyak yang memperingatkan. Kurang apa jargon-jargon, slogan-slogan yang bertebaran. Belum lagi gerakan masa yang kata mereka mampu mengubah dunia. Sayangnya ya memang tidak semuanya.
***
Bum., dentuman benda keras yang entah apa namanya. Mau apa mereka kemari.
“Ayo, sebelah sini dulu” ungkap seorang pria setengah baya kepada segerombolan pria lainnya yang aku kira bawahannya.  Mula-mula mereka meratakan hamparan tanah yang diatasnya berdiri reyot sebuah gubuk tua. Aku ingat dulu ada sebuah keluarga yang menempatinya, namun mati. Ya mati keracunan, akibat meminum air sumur yang tercemar pabrik tekstil di selatan.
Gubuh yang tak lagi punya ceritagubuk yang ditinggalkan pemiliknya, mendekat semakin mendekat pada Anga, ia pun tumbang tak mampu melawan, sekeluarga rumput-rumput liar tak berdaya, Oni yang gagah juga kini pasrah. Oja banyak jumlahnya, namun apa mereka bisa. Semakin dekat, Sri Rejeki sirna, kami para tetua tinggal menunggu saatnya. Ati dia yang kurus tanggal begitu saja.
“Baik saatnya aku.”  jeriku dalam hati.
Aku Pasrah Ya Rabb aku telah berbakti selama ini. Hidupku matiku hanya untuk-Mu.
“Pangkas saja yang paling besar hahahahaha”
Perlahan tapi pasti luka ini bukan hanya tersembuhkan tetapi juga menghilang. Aku menghadap-Mu Ya Rabb.  Tapi aku bangga seumur hidupku memberikan bermanfaat. Tidak seperti mereka khalifah yang salah kaprah. 


Cerpen  Untuk Memperingati Hari Bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar