Tiba-tiba
sadar bahwa bekas luka ini belum juga bisa tersembuhkan. Padahal kecelakaan itu
Sudah terjadi lama, Ya Allah berikan kecepatan dalam penyembuhan. Aku ingin terus menjadi perantara kehidupan
mereka.
***
Aku
hanya bingung dengan jarak yang memisahkan dan mematikan. Aku juga tak habis
fikir dengan apa yang sebenarnya ada dalam bayangan. Kemewahan duniawi yang
mereka rasakan tidakkah terlalu murah harganya jika dibandingkan dengan semilir
angin yang aku hasilkan.
Tanda
tanya itu belum juga terjawab saat mereka mendirikan mopnumen-monumen yang
ditanda tangani pejabat Jakarta. Untuk apa ya? Melukis sejarah? Bisa jadi, tapi
yang lebih tidak masuk nalar adalah
patung-patung selamat datang itu, menggambarkan keagungankah? Menyiratkan
keangkuhan? Bagiku itu kembali ke alam jahiliah. Memuja patung. Bukankah tidak
ada mulianya ya? Berjuta-juta dimusnahkan untuk membuat sebuah benda mati tak
berfungsi, lebih baik dialukasikan saja untuk perawatan dan pelestarian atau
biaya perang fisabilillah.
Aku
semakin terusik pada omongan dua bocah itu, mereka bilang akan dibangun air
mancur lengkap dengan tarian-tarian airnya, untuk apa? Untuk menampung genangan
air tatkala hujan lebatkah, atau menjadi sumber air minum penduduk kota,
jangan-jangan hanya sekedar penghias saja. Lagi lagi ada tanda tanya. Ah,
namanya juga bocah, mungkin mereka hanya membual saja tersugesti oleh permaian
rumah-rumahan yang sering mereka mainkan.
Siang
yang terik, tapi aku tidak pernah merasa kepanasan, dan lihatlah malah mereka
yang merasakan gerahnya cuaca. Salah
siapa, sudah banyak yang memperingatkan. Kurang apa jargon-jargon,
slogan-slogan yang bertebaran. Belum lagi gerakan masa yang kata mereka mampu
mengubah dunia. Sayangnya ya memang tidak semuanya.
***
Bum.,
dentuman benda keras yang entah apa namanya. Mau apa mereka kemari.
“Ayo,
sebelah sini dulu” ungkap seorang pria setengah baya kepada segerombolan pria
lainnya yang aku kira bawahannya. Mula-mula
mereka meratakan hamparan tanah yang diatasnya berdiri reyot sebuah gubuk tua.
Aku ingat dulu ada sebuah keluarga yang menempatinya, namun mati. Ya mati
keracunan, akibat meminum air sumur yang tercemar pabrik tekstil di selatan.
Gubuh
yang tak lagi punya ceritagubuk yang ditinggalkan pemiliknya, mendekat semakin
mendekat pada Anga, ia pun tumbang tak mampu melawan, sekeluarga rumput-rumput
liar tak berdaya, Oni yang gagah juga kini pasrah. Oja banyak jumlahnya, namun
apa mereka bisa. Semakin dekat, Sri Rejeki sirna, kami para tetua tinggal
menunggu saatnya. Ati dia yang kurus tanggal begitu saja.
“Baik
saatnya aku.” jeriku dalam hati.
Aku
Pasrah Ya Rabb aku telah berbakti selama ini. Hidupku matiku hanya untuk-Mu.
“Pangkas
saja yang paling besar hahahahaha”
Perlahan
tapi pasti luka ini bukan hanya tersembuhkan tetapi juga menghilang. Aku
menghadap-Mu Ya Rabb. Tapi aku bangga
seumur hidupku memberikan bermanfaat. Tidak seperti mereka khalifah yang salah
kaprah.
Cerpen Untuk Memperingati Hari Bumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar